Skip to main content

Contoh Karya Tulis : OPTIMASI IMPLEMENTASI INPRES NO. 4 TAHUN 2005 DALAM UPAYA MENGATASI ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA


Oleh: Hetik Yuliati
Indonesia merupakan paru-paru dunia yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90% hutan di dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 Negara Lain. Menurut Departemen Kehutanan, Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan yang merupakan tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan. Namun aset negara yang berupa hutan tersebut dirusak oleh oknum-okmun yang tidak bertanggung jawab melalui aksi pembalakan liar (Illegal Logging).
Kehancuran hutan atau deforestasi yang terjadi di Indonesia, menurut Green Peace disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu illegal logging, legal logging, dan kebakaran hutan. Dalam menangani kehancuran hutan, pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun dalam kenyataannya, di Indonesia masih sering terjadi penjarahan hutan, sedangkan pelestarian hutan masih sangat kurang.
Kerusakan hutan dipicu oleh tingginya permintaan pasar dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi, dan tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan di luar negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan legal di Indonesia. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara persediaan dan permintaan kayu, yang pada akhirnya mendorong terjadinya Illegal Logging di Indonesia.
Menurut Presiden dalam Kompas, 23 Februari 2008 “laju degradasi hutan saat ini sudah Turun dari 2,3 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000 menjadi 1,08 juta hektar per tahun periode 2000-2006”. Meskipun begitu, menurut Departemen Kehutanan kerusakan hutan dinilai masih sangat tinggi. Hingga saat ini sudah mencapai 60 juta hektar hutan yang telah dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bahkan kerugian yang diderita oleh negara Indonesia telah mencapai 40-50 triliun Rupiah per tahun.
Ada indikasi bahwa jumlah Illegal Logging di Indonesia menurun, namun penurunan ini tidak hanya dikarenakan semakin menurunnya tingkat penebangan hutan di Indonesia. Ada indikasi bahwa penurunan Illegal Logging ini juga diakibatkan oleh adanya pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan penyalahgunaan SKSHH, sehingga kasus Illegal Logging dapat menjadi Legal Logging.
Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 ternyata belum mampu menekan maraknya praktek Illegal Logging di Indonesia. Hal ini dikarenakan belum optimalnya implementasi Inpres tersebut yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan pejabat yang terkait. Maraknya Illegal Logging dalam kawasan hutan tidak hanya melibatkan pencuri kayu yang sama sekali tidak memiliki hak legal untuk menebang pohon, tetapi juga telah melibatkan perusahaan-perusahaan atau kontraktor yang sah atau memiliki izin. Perusahaan-perusahaan yang memiliki izin tersebut sering melakukan aktivitas penebangan di luar ketentuan yang diatur dalam perizinan mereka. Tetapi mereka bisa lolos dari hukuman karena mereka memiliki izin dalam penebangan hutan. Seperti yang di katakan oleh Melly Febrida  sebagai berikut.
Banyak kasus Illegal Logging yang bebas di pengadilan karena pertimbangan perizinan. Padahal jika penyidik ingin mengenakan pidana, banyak kasus perusakan hutan yang mestinya gampang di tangani tanpa harus berdebat masalah perizinan.
Upaya pengentasan aksi Illegal Logging hutan Indonesia belum bisa berlangsung serius, karena banyaknya pihak di semua tingkat yang ikut terlibat. Hal ini seperti yang di ungkapkan Antara News pada 10 November 2007 sebagai berikut.
Mafia pencuri kayu sudah mengirim uang kepada tiap-tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka juga menopang dana hampir semua pasangan dalam pilkada. Mafia pembalakan liar sudah merasuki semua tingkatan dan instansi, sehingga sulit rasanya bisa membayangka para pelaku di bawa ke meja hijau dan di hukum.
Implementasi Inpres Nomor 4 Tahun 2005 yang sudah dikumandangkan enam tahun, belum mampu mengatasi masalah Illegal Logging di Indonesia secara optimal. Untuk itu dalam Karya Tulis  ini akan dibahas mengenai Optimasi Implementasi Inpres No. 4 Tahun 2005 dalam Upaya Mengatasi Illegal Logging di Indonesia”.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia belum mampu mengatasi Illegal Logging di tanah air. Masalah batas Hak Pengelolaan Hutan yang tidak jelas menyulitkan penetapan satu kasus sebagai Illegal Logging atau legal Logging menjadi tidak mudah. Sering terjadi salah penafsiran diantara pihak keamanan hutan dalam penetapan legal dan ilegalnya kayu hasil sitaan mereka. Kesalahan pemerintah dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2005 dengan tidak adanya keterangan secara spesifik dan jelas tentang legal dan ilegalnya kayu hasil hutan, menyebabkan kesulitan dalam menangkap dan menghakimi para pembalak liar di Indonesia.
Meskipun telah diberlakukan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005, namun Illegal logging di berbagai area kawasan hutan di Indonesia tak pernah berhenti. Hingga akhir bulan Juli yang lalu, menurut Kompas aksi Illegal logging menyebabkan 22 juta hektar hutan di Tanah Air ini masuk golongan kritis. Hutan produktif yang rusak berat itu mencapai sekitar 14,5 hektar, hutan konversi sebanyak 5,6 juta hektar, dan bekas tebangan yang perlu direhabilitasi sejumlah 13,7 juta hektar. Akibat kerusakan tersebut, negara dirugikan sebesar Rp 1,2 triliun lantaran kehilangan pemasukan pajak dari sektor kehutanan.
Fakta-fakta kasus illegal logging yang secara langsung berakibat pada pengurangan jumlah luasan hutan di Indonesia. Ini merupakan sebuah bukti kongkrit bahwa Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara ilegal Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia tidak berlaku efektif di Indonesia. Ketidakefektifan Instruksi Presiden ini, juga disebabkan karena sampai saat ini Pemerintah Daerah belum punya sebuah rumusan strategi atau action plan pemberantasan Illegal Logging, sehingga tidak heran jika upaya pemberantasan Illegal Logging di daerah ini seperti sebuah upaya tambal sulam yang tak pernah berakhir seiring dengan munculnya kasus-kasus baru dengan berbagai modus.
Lambannya penanganan hukum terhadap para pelaku illegal logging juga menjadi penyebab bahwa Inpres Nomor 4 Tahun 2005 ini tidak berlaku efektif. Ketidakseriusan penuntut umum dan penyidik dalam menangani kasus Illegal Logging menjadi penyebab lolosnya para pembalak hutan. Hal ini dapat dilihat pada penanganan kasus Illegal Logging Adelin Lis yang dinyatakan bebas beberapa waktu yang lalu.
Adelin Lis dinyatakan tidak bersalah atas Illegal logging di daerah Sumatera, padahal sudah ada bukti yang sangat memberatkannya. Hanya karena Adelin Lis memiliki surat izin penebangan hutan, pemerintah dengan sangat mudah mengeluarkan Adelin Lis dari jeratan hukum. padahal jika dikaji lebih mendalam, ada banyak bukti yang memberatkan Adelin Lis telah melakukan Illegal Logging di Mandailing Natal, Sumatra Utara, yang merugikan negara sekitar Rp700 triliun. Namun, karena Adelin Lis mendapat izin dari Menteri Kehutanan dalam penebangan hutan, maka semua penebangan Adelin yang senilai lebih dari 700 triliun itu dianggap sebagai legal logging. Akhirnya karena ketidakseriusan dan ketidakadilan pengadilan dalam mengambil keputusan, maka akhirnya Adelin Lis dibebaskan. Kasus Adelin ini merupakan salah satu contoh bentuk dari sandiwara hukum yang mampu mengubah perbuatan jahat menjadi perbuatan terpuji dihadapan hukum Indonesia.
Kasus Adelin Lis ini sebenarnya bukanlah kasus pertama dalam Illegal Logging di Indonesia yang tidak membuahkan keadilan dari perampasan dan pembabatan hutan. Namun, karena surat izin yang dimiliki oleh para pembalak liar mengalahkan segala tuntutan kejahatan, maka mereka dapat bebas dengan tenang.
Ketidakefektifan Instruksi Presiden ini juga diakibatkan oleh pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), manipulasi isi SKSHH, jual beli SKSHH, pencucian uang (money loundry) dari hasil pembalakan hutan serta jumlah, ukuran, dan volume kayu tidak sesuai SKSHH. Selain itu, ada pula kolusi antara oknum pejabat dengan pelaku pembalakan hutan dengan cara memanipulasi data SKSHH dengan kondisi fisik kayu. Pelanggaran lain di tingkat hulu lainnya adalah pengusaha kayu menebang hutan di luar arealnya yang diizinkan, membeli dan menampung kayu secara ilegal dan adanya kolusi antara oknum pejabat dengan pelaku pembalakan hutan dalam pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan.
Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tidak membatasi banyaknya pohon yang ditebang dan banyaknya pemanfaatan hutan dengan menggunakan SKSHH dari pemerintah. Kalaupun ada batasan pemanfaatan hutan, dari SKSHH tidak bisa dideteksi secara detail berapa banyak pohon yang ditebang dan hasil hutan yang didapatkan oleh pemilik SKSHH tersebut, sehingga mereka bisa terlepas dari pemeriksaan keamanan hutan dengan sangat mudah. Jadi para penebang kayu di hutan bisa dengan leluasa menebang pohon sebanyak mungkin dan mencari keuntungan setinggi mungkin dari pemanfaatan hutan karena telah memegang SKSHH dari menteri Kehutanan di Indonesia. Hal inilah yang sebenarnya sangat merugikan bangsa, karena kerakusan para penebang dan perampas kekayaan hutan di Indonesia.
Ketidakefektifan Inpres No. 4 Tahun 2005 ini sekarang semakin diperkuat lagi dengan terbitnya PP Nomor 2 Tahun 2008 yang sangat menyimpang dari Instruksi Presiden untuk memberantas para pembalak liar. Inpres ini berisi tentang penyewaan penggunaan hutan lindung dalam kegiatan penambangan dengan harga yang sangat murah. Penambangan ini sangat merugikan masyarakat, sebab dilakukan secara terbuka yang bisa memperparah kerusakan hutan. Meskipun penambangan ini bukan merupakan Illegal logging, namun penambangan ini secara tidak langsung juga melakukan penebangan hutan untuk dijadikan sarana transportasi dan proses penambangan. Hal ini juga akan semakin mempermudah para pembalak liar dalam melakukan aksi kejahatan mereka dengan adanya pembukaan jalan transportasi untuk penyaluran hasil penjarahan mereka.
Dalam pelaksanaan Inpres No. 4 Tahun 2005 ini ada 18 oknum yang diinstruksikan oleh presiden dalam upaya mengatasi Illegal Logging di Indonesia harus bisa melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal dalam mengatasi Illegal logging yang dibantu oleh masyarakat Indonesia. Pemberantasan penebangan kayu secara ilegal harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi jumlah pohon yang hancur oleh penebangan ilegal di Indonesia. Masyarakat juga harus ikut aktif dan bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya mengatasi Illegal Logging dengan melaporkan atau menangkap orang atau instansi yang dicurigai melakukan Illegal Logging.
Dalam upaya menindak dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal, pemerintah harus menetapkan hukum dan melaksanakan tersebut yang bisa menjerat mereka, sehingga oknum petugas tersebut jera untuk melakukan kerja sama dengan para pembalak liar. Penetapan hukum tanpa pelaksanaan tidak akan membuat oknum petugas jera, sehingga sampai sekarang masih banyak oknum petugas yang ikut bekerja sama dalam mensukseskan Illegal Logging di Indonesia.
Fakta lapangan membuktikan banyaknya oknum Gubernur atau Bupati yang belum bisa mengkoordinir daerahnya dengan peraturan-peraturan tertentu dalam mengatasi Illegal Logging. Mereka merasa tidak berwenang untuk melakukan pemberantasan pembalakan liar dengan peraturan yang mereka buat sendiri sehingga Illegal Logging yang terjadi di daerah mereka tidak bisa diatasi secara cepat dan tepat. Untuk itu, maka pemerintah harus bisa memberikan kewenangan kepada 18 oknum tadi dalam mengatasi Illegal Logging, terutama bagi Gubernur atau Bupati. Gubernur atau Bupati lebih mengetahui daerah yang mereka pimpin. Sehingga dengan adanya kewenangan dari pemerintah untuk para Gubernur atau Bupati, maka pemberantasan Illegal Logging akan lebih optimal. Hal ini karena setiap daerah di Indonesia memiliki ciri dan kriteria yang berbeda, jadi dengan adanya perbedaan peraturan yang dibuat oleh Gubernur atau Bupati yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku ini dapat memberantas Illegal Logging di Indonesia dengan cepat dan efektif.
Penangkapan pelaku Illegal Logging juga harus disertai dengan adanya tindakan hukum yang setimpal untuk mereka. Kenyataanya, sampai saat ini masih banyak pembalak liar yang bebas karena masih belum adanya hukum yang bisa menjerat mereka masuk ke dalam lubang penjara. Ada diantara para pembalak liar bebas di lapangan setelah memberikan uang izin dari petugas yang menangkapnya. Ini adalah suatu bukti penegakan hukum yang masih sangat lemah di Indonesia. Untuk itu peraturan perundang-undang dalam mengatasi Illegal Logging di Indonesia juga harus dilakukan secara ooptimal oleh pemerintah dan juga masyarakat di Indonesia.
Pemerintah harus menindak secara tegas para pembalak liar dari luar negeri, seperti Malaysia yang setiap tahun mampu meraup keuntungan dari penjajahan hutan di Indonesia. Orang yang pergi ke perbatasan Malaysia saja ditindak sangat tegas oleh pemerintah Malaysia, jadi Indonesia juga harus bertindak tegas dan menjerat mereka dengan hukum apabila melewati perbatasan di Indonesia, Apalagi jika mereka melakukan Illegal Logging di Indonesia, maka pemerintah harus menghukum mereka dengan hukuman seberat-beratnya karena dampak dari Illegal Logging sangat merugikan bangasa Indonesia dan dunia seperti global warming.
Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan dan menerima suap dari para pembalak liar. Suap yang merupakan akar dari Korupsi sudah mendarah daging di Indonesia. Kali ini semua komponen pemerintah dan masyarakat harus bisa membunuh suap dari darah daging manusia Indonesia. Untuk itu harus diadakan Undang-Undang yang memberikan sanksi yang lebih berat lagi untuk siapa saja yang menerima atau memberikan suap, baik dalam kegiatan pembalakan liar ataupun dalam kegiatan lainnya. Undang-Undang tersebut harus dilaksanakan dengan baik, karena di Indonesia sudah memiliki kebiasaan membuat Undang-Undang tanpa ada pelaksanaan secara nyata. Untuk itu dibutuhkan kesadaran hukum yang tinggi bagi masyarakat di Indonesia untuk menjunjung tinggi hukum dan peraturan pemerintah lainnya.
Pembangunan sikap mencintai hutan juga harus diwujudkan oleh pemerintah dan warga negara Indonesia untuk membangun kembali hutan kita yang musnah dan dalam upaya memberantas Illegal Logging di Indonesia. Karena dengan adanya kesadaran mencintai hutan, maka seluruh warga negara Indonesia akan berupaya secara optimal dalam melestarikan hutan. Pelestarian hutan ini dapat dilakukan dengan reboisasi hutan dengan menanam pohon untuk hutan secara bersama-sama dan kemudian menjaganya. Mencegah penggundulan hutan akan memberikan hasil lebih baik dari pada mengatasinya dengan berbagai hukum dan ancaman, untuk itu maka pemerintah harus mampu mencegah penebangan hutan dengan membangun rasa cinta warga negara kepada hutan. Dengan begitu, maka Inpres Nomor 4 Tahun 2005 dapat dilakukan secara optimal oleh seluruh warga negara Indonesia.

Simpulan
Pembalakan liar (Illegal logging) di Indonesia masih merajalela meskipun pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 dengan memberikan instruksi kepada 18 pejabat terkait untuk lebih aktif memberantas pembalakan liar di Indonesia. Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare yang telah musnah. Kerugian yang diderita negara pun tidak sedikit, yaitu mencapai 40 triliun-50 triliun Rupiah per tahun.
Modus Illegal Logging di Indonesia dilakukan dengan menggunakan surat izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin, sistem lelang kayu oleh para pembalak liar, memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan, dan mencari perlindungan dari oknum pejabat dan aparat keamanan. Illegal Logging sangat merugikan manusia dan ekosistem alam di sekitarnya. Illegal Logging memberikan dampak pada musnahnya berbagai fauna dan flora, terjadinya banjir badang, longsor, berkurangnya lapisan tanah yang subur, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, global warming, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu temuan oleh pihak terkait.
Meskipun telah diberlakukan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005, namun Illegal logging di berbagai area kawasan hutan di Indonesia tak pernah berhenti. Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tidak berlaku secara efektif disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu (1)lambannya penanganan hukum terhadap para pelaku illegal logging, (2) ketidakseriusan penuntut umum dan penyidik dalam menangani kasus Illegal Logging, (3) pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), (4) manipulasi isi SKSHH, (5) jual beli SKSHH, (6) pencucian uang (money loundry) dari hasil pembalakan hutan serta jumlah, ukuran, dan volume kayu tidak sesuai SKSHH, (7) kolusi antara oknum pejabat dengan pelaku pembalakan hutan dengan cara memanipulasi data SKSHH dengan kondisi fisik kayu, (8) pemerintah tidak membatasi banyaknya pohon yang ditebang dan banyaknya pemanfaatan hutan dengan menggunakan SKSHH dari pemerintah, kalaupun ada batasan pemanfaatan hutan, dari SKSHH tidak bisa dideteksi secara detail berapa banyak pohon yang ditebang dan hasil hutan yang didapatkan oleh pemilik SKSHH tersebut, dan masih ada lagi penyebab ketidakefektifan Inpres ini yang hanya sebagai Instruksi belaka, tanpa adanya penanganan hukum secara optimal. Ketidakefektifan Inpres No. 4 Tahun 2005 ini sekarang semakin diperkuat lagi dengan terbitnya PP Nomor 2 Tahun 2008 yang sangat menyimpang dari Inpres dalam upaya memberantas para pembalak liar.

Saran
Dalam menangani masalah Illegal Logging di Indonesia, pemerintah harus mengambil sikap yang lebih serius. Adapun rekomendasi penulis terhadap penanganan masalah Illegal Logging di Indonesia dan untuk keefektifan implementasi Inpres No. 4 Tahun 2005 sebagai berikut.
Pertama, dalam pelaksanaan Inpres No. 4 Tahun 2005 ini ada 18 oknum yang diinstruksikan oleh presiden dalam upaya mengatasi Illegal Logging di Indonesia harus bisa melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal dan dibantu oleh masyarakat. Pemberantasan penebangan kayu secara ilegal harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi jumlah pohon yang hancur oleh penebangan ilegal di Indonesia.  Masyarakat juga harus ikut aktif dan bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya mengatasi Illegal Logging dengan melaporkan atau menangkap orang atau instansi yang dicurigai melakukan Illegal Logging. Pemerintah juga harus memberikan kewenangan penanganan Illegal Logging kepada 18 oknum pejabat tersebut dengan action plan masing-masing yang menurut mereka lebih tepat digunakan. Fakta lapangan membuktikan banyaknya oknum Gubernur atau Bupati yang belum bisa mengkoordinir daerahnya dengan peraturan-peraturan tertentu dalam mengatasi Illegal Logging. Mereka merasa tidak berwenang untuk melakukan pemberantasan pembalakan liar dengan peraturan yang mereka buat sendiri sehingga Illegal Logging yang terjadi di daerah mereka tidak bisa diatasi secara cepat dan tepat. Hal ini karena setiap daerah di Indonesia memiliki ciri dan kriteria yang berbeda, jadi dengan adanya perbedaan peraturan yang dibuat oleh Gubernur atau Bupati yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku ini dapat memberantas Illegal Logging di Indonesia dengan cepat dan efektif.
Kedua, dalam upaya menindak dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya, pemerintah harus menetapkan hukum dan melaksanakan tersebut yang bisa menjerat mereka dengan setimpal, sehingga oknum petugas tersebut jera untuk melakukan kerja sama dengan para pembalak liar. Penangkapan pelaku Illegal Logging juga harus disertai dengan adanya tindakan hukum yang setimpal untuk mereka. Kenyataanya, sampai saat ini masih banyak pembalak liar yang bebas karena masih belum adanya hukum yang bisa menjerat mereka masuk ke dalam lubang penjara. Ada diantara para pembalak liar bebas di lapangan setelah memberikan uang izin dari petugas yang menangkapnya. Ini adalah suatu bukti penegakan hukum yang masih sangat lemah di Indonesia.
Pemerintah juga harus menindak secara tegas para pembalak liar dari luar negeri, seperti Malaysia yang setiap tahun mampu meraup keuntungan dari penjajahan hutan di Indonesia. Orang yang pergi ke perbatasan Malaysia saja ditindak sangat tegas oleh pemerintah Malaysia, jadi Indonesia juga harus bertindak tegas dan menjerat mereka dengan hukum apabila melewati perbatasan di Indonesia apalagi jika mereka melakukan pembalakan liar.  Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan dan menerima suap dari para pembalak liar. Untuk itu harus diadakan Undang-Undang yang memberikan sanksi yang lebih berat lagi untuk siapa saja yang menerima atau memberikan suap, baik dalam kegiatan pembalakan liar ataupun dalam kegiatan lainnya. Undang-Undang tersebut harus dilaksanakan dengan baik, karena di Indonesia sudah memiliki kebiasaan membuat Undang-Undang tanpa ada pelaksanaan secara nyata. Untuk itu dibutuhkan kesadaran hukum yang tinggi bagi masyarakat di Indonesia untuk menjunjung tinggi hukum dan peraturan pemerintah lainnya.
Ketiga, pembangunan sikap mencintai hutan juga harus diwujudkan oleh pemerintah dan warga negara Indonesia untuk membangun kembali hutan kita yang musnah dan dalam upaya memberantas Illegal Logging di Indonesia. Karena dengan adanya kesadaran mencintai hutan, maka seluruh warga negara Indonesia akan berupaya secara optimal dalam melestarikan hutan. Pelestarian hutan ini dapat dilakukan dengan reboisasi hutan dengan menanam pohon untuk hutan secara bersama-sama dan kemudian menjaganya. Mencegah penggundulan hutan akan memberikan hasil lebih baik dari pada mengatasinya dengan berbagai hukum dan ancaman, untuk itu maka pemerintah harus mampu mencegah penebangan hutan dengan membangun rasa cinta warga negara kepada hutan. Dengan begitu, maka Inpres Nomor 4 Tahun 2005 dapat dilakukan secara optimal oleh seluruh warga negara Indonesia.
Keempat, perubahan pola atau sumber mata pencaharian mereka dari sektor kehutanan kepada sektor lain yang tidak merusak hutan. Dalam hal ini, pemerintah juga harus memikirkan alternatif mata pencaharian warga yang bermata pencaharian mencari kayu di hutan, khususnya di sekitar perbatasan dengan negara lain. Tanpa usaha pemerintah menciptakan mata pencaharian di luar sektor kehutanan, pembalakan liar tidak akan dapat dihentikan.
Kelima, pembentukan tim dalam mengatasi permasalahan Illegal Logging, mulai dari penangkapan para pembalak liar sampai dengan pengawasan tindak pidana hukum atas mereka. Hal ini di maksudkan agar tidak ada lagi suap menyuap antara pembalak liar dengan petugas atau jaksa agung maupun hakim. Sehingga proses hukum terhadap para pembalak liar ini dapat dilakukan secara optimal dan tidak ada kesalahan pembebasan pidana pembalak liar seperti yang terjadi di masa lalu.
Keenam, Presiden melalui Departemen Kehutanan juga perlu melakukan evaluasi secara komprehensif terkait dengan pemberlakuan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005, di mana evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan dan kelemahan atau kendala-kendala penegakan hukum terkait dengan pemberlakukan Inpres yang dinilai tidak berlaku efektif tersebut. Pemerintah Pusat bersama Departemen Kehutanan diharapkan melakukan upaya-upaya peningkatan sumber daya (capacity building) pejabat-pejabat di daerah terkait dengan pengetahuan tentang kebijakan kehutanan di Indonesia. Evaluasi ini juga harus disertai dengan revisi Inpres No. 4 Tahun 2005, sehingga Instruksi Presiden dapat lebih cermat, lebih jelas, dan lebih komperhensif dalam penanganan Illegal Logging di Indonesia.
Ketujuh, Presiden harus memperhitungkan kembali pengesahan PP Nomor 2 Tahun 2008 yang menyimpang jauh dari berlakunya Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Inpres Nomor 4 Tahun 2005 yang dengan tegas menginstruksikan perlawanan terhadap Illegal Logging, namun dalam PP No. 2 Tahun 2008 memberikan peluang kepada perusahaan swasta dalam mengelola hutan dan menggali kekayaan hutan dengan memberikan pendapatan negara sangat murah.
Indonesia adalah zamrud katulistiwa, jadi kita sebagai penerus bangsa harus mampu mempertahankan gelar tersebut. Dalam pertemuan global di Bali bulan desember tahun kemarin telah disepakati bahwa Indonesia akan dibantu oleh negara-negara asing dalam mereboisasi hutan, jadi pemerintah dan kita sebagai masyarakat Indonesia harus melaksanakan amanat dunia untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran, global warming.
Terakhir, upaya nasional dalam penanganan masalah Illegal Logging harus tetap diawasi jalannya oleh semua pihak, baik para pejabat negara ataupun masyarakat Indonesia, baik pihak dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, maka pemberantasan Illegal Logging dapat dilakukan dengan lebih efektif dan transparan, sehingga semua warga negara Indonesia dan luar negeri melalui media massa maupun televisi dapat mengawasi jalannya upaya pemerintah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Berita Antara. 10 November, 2007. Sepakati Dulu Pembalakan Hutan adalah Ancaman Nasional, Berita Antara, hlm. 5.

Departemen Kehutanan. 2007. Gubernur Buru Pembalak Liar. http://www.balioutbound.com. [02 Maret 2008].

Dinas Kehutanan Kabupaten Garut. 2007. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). http://pub.garut.go.id. [23 Maret 2008].

Green Peace. 2007. Izin Penebangan Hutan Diperketat. http://www.balioutbound.com. [09 Maret 2008].

Haba, John. 2005. Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya.
http://www.jawa-pos.com.  [02 Maret 2000].

Inpres Presiden. 2005. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005. http://www.dephut.go.id. [01 Maret 2008].

Kepmen. 2000. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 132/Kpts-II/2000 Tentang Pemberlakuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). http://www.aphi-net.com. [23 Maret 2008].

Kompas. 23 Februari, 2008. Inpres No 4/2005 Direvisi, Kompas, hlm. 18.

Kompas. 23 Februari, 2008. PP Hutan Lindung untuk 13 Perusahaan, Kompas, hlm. 18.

Kompas. 21 Februari, 2008. Penyewaan Hutan Lindung Berbahaya, Kompas,  hlm. 1.

Kompas. 20 Februari, 2008. Hutan Lindung disewakan Rp 120-Rp 300 Per Meter, Kompas, hlm. 1.

Kompas. 01 Desember, 2007. Pembalakan Liar Tak Terkendali, Kompas,
hlm. 22.

Melly Febrida. 2007. Pembalakan Liar di Hutan Nasional Tak Tersentuh. http://www.detik.com. [20 Februari 2008].

Peraturan Pemerintah. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008. http://www.dephut.go.id. [23 Februari 2008].

Riau Online. 2007. Ada Indikasi SKSHH Diperdagangkan di Riau. http://www.riau.go.id. [23 Maret 2008].

Sutanman, Andiko. 2006. Illegal Logging dan Konteks Kehutanan. http://my.opera.com. [20 Februari 2008].

Undang-Undang Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. http://www.dephut.go.id. [23 Februari 2008].

Universitas Negeri Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Desertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Wikipedia. 2005. Pembalakan liar atau penebangan liar. http://id.wikipedia.org. [01 Februari 2008].

Wikipedia. 2008. Hutan. http://id.wikipedia.org. [23 Februari 2008].



Comments

  1. Kompas, Sabtu, 23 Februari 2008

    Inpres No 4/2005 Direvisi
    Penataan Ulang Berdampak Positif bagi Industri Kehutanan


    Jakarta, Kompas - Meski jumlah kasus pembalakan liar terus menurun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan masih belum puas terhadap hasil yang telah dicapai. Presiden akan menata ulang peraturan berkait pemberantasan pembalakan liar dan meningkatkan kerja sama lintas sektoral.
    ”Kami sudah memberi perhatian khusus untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, upaya memberantas pembalakan liar terus diintensifkan. Kami akan tata kembali perangkat peraturan termasuk instruksi presiden,” kata Presiden Yudhoyono seusai rapat kabinet terbatas di Departemen Kehutanan, Jakarta, Jumat (22/2). Rapat dihadiri oleh Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Menteri Kehutanan MS Kaban, dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
    Presiden menambahkan akan segera meningkatkan kerja sama antara Dephut, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), kejaksaan, yudikatif, TNI, pemerintah daerah, dan pengusaha kehutanan, dalam mengoptimalkan pemberantasan pembalakan liar.
    Selama ini, operasi terpadu pemberantasan pembalakan liar berlandaskan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
    Inpres yang diterbitkan pada 18 Maret 2005 ini memerintahkan menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan, 15 pejabat setingkat menteri (termasuk menhut dan kepala Polri, serta seluruh gubernur dan bupati/wali kota untuk memberantas pembalakan liar.
    Data Dephut yang disampaikan dalam laporan akhir tahun Menhut MS Kaban pada 27 Desember 2007 disebutkan, tingkat pencurian kayu turun dari 474 kasus pada tahun 2006 menjadi 383 kasus pada 2007.
    Menurut Presiden, laju degradasi hutan saat ini sudah turun dari 2,3 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000 menjadi 1,08 juta hektar per tahun periode 2000-2006.
    Secara khusus, presiden mengatakan, pemerintah tetap mengedepankan dua fungsi hutan, yakni ekonomi dan lingkungan. Fungsi ekonomi ditujukan untuk menyejahterakan tanpa mengabaikan fungsi lingkungan.
    Oleh karena itu, pemerintah akan tetap merevitalisasi industri kehutanan. Namun, Presiden menegaskan, pengusaha kehutanan juga harus menerapkan pola usaha yang taat asas.
    Sangat strategis
    Secara terpisah, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, meskipun terlambat, rencana tata ulang inpres sangat strategis. Menurut Elfian, Presiden seharusnya segera merevisi inpres saat polemik hukum antara Menhut dan Polri mencuat dalam kasus dugaan pembalakan liar di areal hutan tanaman industri (HTI) di Riau dan kasus Adelin Lis.
    Selanjutnya, Elfian meminta agar inpres operasi pemberantasan pembalakan liar yang baru lebih tegas dan tidak multitafsir. Inpres juga harus aplikatif dan mengikat para pihak untuk tetap berkoordinasi.
    ”Dalam inpres yang lama, kinerja komponen pemerintah sangat buruk karena tidak optimal bekerja sama memberantas pembalakan liar. Koordinasi yang efektif tentu akan berdampak positif pada industri kehutanan yang memiliki izin resmi dan taat asas dalam bekerja,” kata Elfian. (ham)

    http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.23.02051085&channel=2&mn=3&idx=3

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

CONTOH SOAL PILIHAN GANDA JOB ORDER COSTING 2

Berilah tanda silang pada  a, b, c, d , atau  e  untuk jawaban yang dianggap paling benar pada soal berikut! 1.  Perhitungan akuntansi biaya untuk pembelian bahan baku dalam perhitungan biaya berdasarkan pesanan menggunakan sistem persediaan….. a.   periodik b.   fisik c.   perpectual d.   rata-rata e.   rata-rata tertimbang 2.  PT. Merdu Indah membeli bahan baku secara kredit $50.000, maka jurnalnya adalah….. a.  pembelian               $ 50.000 kas                            $50.000 b.  pembelian               $ 50.000 utang usaha              $ 50.000 c.  bahan baku             $ 50.000 kas                            $ 50.000 d.  bahan baku             $ 50.000 utang usaha              $ 50.000 e.  bahan baku             $ 50.000 surat berharga           $ 50.000 3.  Kartu yang berfungsi sebagai catatan persediaan perpectual dan buku besar pembantu yang mendukung akun bahan baku adalah kartu….. a.         persediaan b.        tenaga kerja

Contoh dan Latihan Soal Jurnal Umum Akuntansi Perusahaan dagang (Plus Jawaban) 2

SOAL Pada Perusahaan Dagang Daventa, selama bulan januari 20 14  terjadi transaksi-transaksi sebagai berikut. Jan 2     Membeli barang dagang seharga Rp 1.500.000,00 dengan syarat pembelian 2/15, n/30. 7      Dijual barang dagangan kepada PT Melati dengan harga Rp 300.000,00 dengan syarat pembayaran 2/10, n/30 8      Dijual tunai barang dagang dengan harga Rp 200.000,00 11   Dibayar sewa gudang Rp 50.000,00 14    Diterima kembali barang yang dijual tanggal 7 januari sebesar Rp 75.000,00 karena rusak 15   Dibeli tunai barang dagang seharga Rp 230.000,00 17    Diterima kas dari penjualan kepada PT Melati untuk pembayaran faktur tertanggal 7  J anuari  setelah dikurangi dengan potongan tunai. 18    Dibayar beban angkut Rp 30.000,00 untuk pengangkutan barang tanggal 8 januari yang lalu 20    Dijual dengan kredit barang dagang kepada Firma Husada Bandung Rp 400.000,00 dengan syarat pembayaran 3/15, n/30 22    Dibeli tunai barang dagang seharga Rp 250.000,00 23

Contoh dan Latihan Soal Jurnal Umum Akuntansi Perusahaan Jasa 2

Berikut transaksi usaha bengkel motor Mimi Mimi selama bulan Nopember 2014. Nop    1      Nona Mimi menyetor uang untuk modal usaha sebesar Rp 30.000.000 2       Dibayar sewa gedung reparasi sebesar Rp 1.000.000 untuk satu bulan 4       Dibeli perlengkapan keperluan kantor bengkel sebesar Rp 2.000.000 secara tunai 5       Dibeli meja, kursi, computer, dan almari untuk kantor sebesar Rp 5.000.000 secara tunai 6       Dibeli perlengkapan untuk reparasi mobil berupa oli, minyak rem, busi, dan lain-lain sebesar Rp 10.500.000 secara tunai 7       Dibeli dengan tunai obeng, alat dongkrak, alat-alat service dan pencuci kendaraan sebesar Rp 6.500.000 8       Diterima pendapatan service dan reparasi motor sebesar Rp 700.000 10     Diterima pendapatan service dan reparasi selama 2 hari sebesar Rp 1.300.000 11     Dibayar beban listrik bulan ini sebesar Rp 150.000 14     Diterima pendapatan service selama 4 hari sebesar Rp 2.800.000 15     Dibayar beban air sebesar Rp 1