Skip to main content

Gambaran Umum Illegal Logging di Indonesia (update 2008)



Keberadaan hutan Indonesia yang menjadi paru-paru dunia sangat terancam oleh para pembalak liar. Para pembalak liar kini semakin tidak terkendali karena kurangnya penanganan ekstra dari pemerintah dalam mengatasi Illegal Logging. Pada tahun 2005 Indonesia memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi, yaitu fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare). Namun beberapa waktu yang lalu, organisasi lingkungan dunia, Green Peace menyebutkan bahwa 72 % hutan Indonesia telah musnah. Setengah wilayah hutan masih ada dalam kondisi terancam musnah karena penebangan komersial, kebakaran hutan, serta pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit dan pertanian.

Kehancuran hutan atau deforestasi yang terjadi di Indonesia, menurut Green Peace, disebabkan tiga hal utama, yakni Illegal Logging, Legal Logging, dan kebakaran hutan. Selain itu, hancurnya hutan disebabkan penebangan yang mendapat izin pemerintah melalui HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri).
Aktivitas penebangan hutan sekarang ini bahkan sudah melibatkan warga asing, yaitu Malaysia. Para cukong itu umumnya masuk ke perbatasan Kalimantan Barat/Serawak tanpa dilengkapi dokumen resmi dan tanpa memiliki visa kerja di Kalimantan Barat. Kayu hasil  Illegal Logging itu diolah setengah jadi lalu diselundupkan ke Malaysia. Warga Malaysia yang keluar masuk Kalimantan Barat tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi itu, tidak pernah tertangkap atau tersentuh oleh aparat keamanan. Padahal, pada saat ada warga Indonesia yang masuk ke wilayah Malaysia tanpa dokumen, oleh pemerintah Malaysia langsung ditangkap dan dihukum sesuai hukum yang berlaku di Malaysia. Dari kegiatan Illegal Logging tersebut, setiap bulannya mereka bisa mengumpulkan uang mencapai miliaran rupiah.
Perang terhadap praktek-praktek pembalakan liar telah digaungkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun, praktek-praktek ilegal tersebut ternyata masih terjadi. Modus pembalakan liar senantiasa berkembang menyesuaikan diri dan cenderung lebih sistematis dari tahun ke tahun. Menurut  Green Peace, modus Illegal Logging di Indonesia sebagai berikut.
1.      Menggunakan surat izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin. Misalnya, dengan menggunakan izin HTI (Hutan Tanaman Industri) yang seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di hutan lindung.
2.      Sistem lelang kayu oleh para pembalak liar. Dengan cara lelang, oknum-oknum pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal.
3.      Memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Para pembalak liar memanfaatkan rakyat setempat dalam membantu mereka dalam pembalakan liar. Dengan memberikan imbalan berupa gaji yang tinggi, mereka mengajak masyarakat sekitar untuk menggunduli hutan mereka dengan dampak yang sangat merugikan mereka.
4.      Mencari perlindungan dari oknum pejabat dan aparat keamanan.
Praktek-praktek ilegal sebenarnya tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang memfasilitasi. Tanpa adanya pihak lain yang membuka jalan atau membiarkan terjadinya penebangan liar, mustahil aksi tersebut berjalan. Pihak lain itulah yang memberikan izin untuk melegalkan sesuatu. Di sinilah ditengarai adanya keterlibatan oknum pejabat, bahkan aparat, yang seharusnya melakukan pengawasan.
Berdasarkan data dari kompas 01 Desember 2007 mengatakan bahwa
Illegal Logging telah menyebabkan 600.000 hektar hutan sumatera Utara rusak. Kerusakan tersebut terdapat di hutan produksi dan hutan lindung. Illegal Logging juga menyebabkan lebih dari 700.000 hektar hutan di Kalimantan Selatan rusak.
Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare yang telah musnah. Kerugian yang diderita negara mencapai 40 triliun-50 triliun Rupiah per tahun.
Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare yang telah musnah. Kerugian yang diderita negara mencapai 40 triliun-50 triliun Rupiah per tahun. Dalam data laporan akhir tahun pada 27 Desember 2007 oleh Depertemen Kehutanan menyebutkan bahwa tingkat pencurian kayu Turun dari 474 kasus pada tahun 2006, menjadi 383 kasus pada tahun 2007. Berikut register perkara Illegal Logging tahun 2007.

Tabel 3.1 Register Perkara Illegal Logging Tahun 2007


Proses penyelesaian kasus
Jumlah
Kategori
Jumlah
Lidik
Yustisi
Non-yustisi
tunggakan
Kasus
kasus

Belum selesai
SP 3
P 21
Sidang
Vonis
(Pembinaan)
kasus
Illegal Logging
293
81
102
1
39
27
42
1
250
Perambahan
39
12
24
0
1
1
0
1
38
TSL
36
7
10
0
4
1
7
7
22
PETI
5
0
5
0
0
0
0
0
5
Kebakaran
11
0
7
0
0
0
4
0
7
Total
384
100
148
1
44
29
53
9
322
Sumber: Dephut yang merupakan laporan hasil operasi operasional fungsional dan gabungan 32 BKSDA, 42 BTN, 22 dinas kehutan Propinsi, dan 50 dinas kehutanan Kabupaten/Kota
Keterangan:


TSL   : Tumbuhan dan satwa liar
PETI : Penambangan emas tanpa izin
SP3    : Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P21    : Berkas yang diserahkan ke kejaksaan



Tabel  3.1 diatas menjelaskan tentang perkara Illegal Logging di Indonesia tahun 2007 dengan jumlah total kasus yang turun sebanyak 91 kasus dibandingkan dengan tahun 2006. Akan tetapi penurunan kasus ini belum tentu menjadi sebuah patokan bahwa penebangan liar di Indonesia juga berkurang. Buktinya, luas hutan di Indonesia semakin berkurang tajam meskipun kasus Illegal Logging turun.
Hal ini merupakan suatu bukti bahwa penurunan kasus Illegal Logging di Indonesia tidak semata-mata dikarenakan jumlah Illegal Logging yang semakin sedikit, namun ada indikasi semakin mudahnya prosedur kepemilikan SKSHH sebagai surat izin penebangan hutan di Indonesia.  Pemerintah memberikan kewenangan kepada pembalak liar, asalkan mereka memiliki uang untuk membeli SKSHH, maka mereka bisa bebas dari jeratan hukum. Padahal sering dalam kegiatannya, mereka menyalahgunakan SKSHH dengan menebang kayu yang tidak sesuai dengan izin yang tercantum dalam SKSHH. Mereka juga sering menggunakan SKSHH sebagai perlindungan hukum, sehingga dalam banyak kasus di Indonesia, sulit dilakukan proses pengadilan karena pertimbangan perizinan tersebut. Bahkan ada di beberapa tempat di Indonesia terjadi jual beli SKSHH secara ilegal oleh aparat keamanan.
Seperti yang ungkapkan Wakil Gubernur Riau, Wan Abu Bakar bahwa ada indikasi keterlibatan pejabat Dinas Kehutanan dalam pemalsuandan penjualan izin Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) seharga Rp2,5 juta per SKSHH. SKSHH masih berbentuk dokumen kosong yang sudah distempel dan ditandatangani pejabat berwenang, tetapi isi data hasil hutan kosong. Dari dokumen kosong tersebut, kemudian diisi sesuai keinginan pembeli dokumen SKSHH. Dari dokumen kosong itu kemudian diisi sesuai keinginan pembeli dokumen SKSHH. Pejabat penerbit SKSHH itu bukan saja melakukan pelanggaran indispliner tapi sudah mengarah kepada tindak kriminal yang sangat serius dan terkait pada aksi pencurian yang merugikan negara.
Praktek perdagangan SKSHH bukan saja terjadi belakangan ini, tetapi sudah bertahun-tahun, prakteknya sangat rapi dan terorganisir dengan baik. Belum lagi adanya pemberian suap kepada aparat keamanan oleh para pembalak liar yang sulit dibuktikan di pengadilan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi penyebab semakin berkurangnya kasus Illegal Logging di Indonesia, karena perubahan status Illegal Logging mejadi Legal Logging setelah kepemilikan SKSHH meskipun dalam prakteknya mereka dengan rakus menjarah hutan.
Pada tanggal 4 Februari 2008 kemarin, Presiden RI menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan, ini dinilai sangat membahayakan kelestarian hutan di Indonesia. PP ini memberikan kebijakan menyewakan hutan untuk kepentingan perusahaan swasta dalam pengelolaan hutan dengan biaya yang sangat murah jika dibandingkan dengan akibat di masa yang akan datang. PP ini merupakan tindak lanjut dari Kepres Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan yang memberikan izin kepada 13 perusahaan swasta untuk melakukan penambangan di daerah hutan.
Seperti yang dimuat dalam Kompas, 20 Februari 2008, PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak dalam tabel berikut.
Tabel 3.2 Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak
No.
Jenis PNBP
Tarif hutan lindung/Ha/Tahun
Tarif hutan produksi/Ha/Tahun

1.

2.


3.

4.

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Tambang Terbuka yang bergerak secara horizontal
Penggunaan Kawasan Hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara vertikal
Penggunaan Kawasan hutan untuk tambang bawah tanah
Penggunaan kawasan hutan untuk migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi terbarukan dan instalasi air, dan jalan tol

Rp 3.000.000

Rp 2.250.000


Rp 2.250.000

Rp 1.500.000


Rp 2.400.000

Rp 1.800.000


Rp 1.800.000

Rp 1.200.000
Sumber: Lampiran PP No. 2 Tahun 2008
Dalam tabel 3.2 ini menunjukkan tarif penggunaan kawasan hutan dengan sangat rendah, yaitu sebesar Rp 120 per meter kubik. Padahal jika diperhitungkan dengan nilai ekonomi, uang sekecil itu tidak akan mampu mengganti kerusakan pemakaian hutan oleh para penambang di area hutan. Pemerintah juga memberi kewenangan kepada para perusahaan untuk melakukan penambangan terbuka, padahal dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 38 ayat (4) dikatakan bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Ini menggambarkan penyimpangan jauh dari Undang-Undang yang dibuat dan disahkan sebelumnya. Hal ini juga sangat mengancam masyarakat sekitar dalam menghadapi dampak dari pertambangan terbuka dan penggundulan hutan.
Menurut Rully Syumanda ”Peraturan Pemerintah ini dinilai sangat tidak rasional dan sangat murah untuk menghargai hutan lindung yang tidak ternilai harganya”. Pemerintah memberikan biaya sewa hanya Rp 120 per meter, padahal jika alasan pemerintah mengeluarkan PP ini untuk menyelamatkan hutan dengan mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi dalam rangka merehabilitasi hutan Indonesia yang hancur oleh ulah pembalak liar, maka seharusnya pemerintah memberikan biaya sewa atau pinjam hutan yang lebih tinggi sesuai dengan apa yang perusahaan tersebut gali dari kekayaan hutan. Bahkan pemerintah tidak memikirkan bahwa pada saat mereka melakukan penggunaan kawasan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut juga menebang pohon di hutan yang juga bernilai ekonomi. Jika Peraturan Pemerintah ini tetap dilaksanakan, tetap saja akan merugikan negara. Dengan mendatangkan pendapatan penggunaan hutan per tahun yang sangat murah, dampak yang sangat merugikan dan mengancam, dan tidak ada peraturan ataupun jaminan yang menjamin bahwa 13 perusahaan tersebut tidak melakukan penggunaan hutan yang tidak sesuai dengan surat perizinan dari pemerintah.
Jika pemerintah takut akan tuntutan 13 perusahaan penambang hutan, hal itu berarti pemerintah lebih menganaktirikan kepentingan masyarakat luas dan lebih memilih memberikan kesejahteraan lebih kepada para penambang terbuka tersebut. Mengapa pemerintah lebih takut pada tuntutan 13 perusahaan terbuka yang merusak hutan dari pada keselamatan rakyatnya yang terancam oleh dampak kerusakan hutan? Padahal pemerintah adalah penyalur aspirasi rakyat yang seharusnya lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas dari pada kepentingan penambang terbuka yang merusak hutan. Penambang hutan ini bukanlah pembalak liar, akan tetapi mereka juga melakukan aktivitas yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan hutan. Mereka juga melakukan penebangan di hutan lindung untuk pembuatan jalan yang secara tidak langsung mempermudah transportasi para pembalak liar dalam melakukan aksinya.
Meskipun pemerintah telah memberikan izin kepada 13 perusahaan tambang ini, namun pemerintah tidak pernah memberikan jaminan bahwa 13 perusahaan ini tidak akan merusak ataupun melakukan kegiatan lain selain penambangan, misalnya Illegal Logging.  Inilah gambaran pembalakan liar di Indonesia yang semakin transparan oleh perlindungan hukum yang semakin rapi menutupi pembalak liar yang semakin merajalela.

Comments

Popular posts from this blog

CONTOH SOAL PILIHAN GANDA JOB ORDER COSTING 2

Berilah tanda silang pada  a, b, c, d , atau  e  untuk jawaban yang dianggap paling benar pada soal berikut! 1.  Perhitungan akuntansi biaya untuk pembelian bahan baku dalam perhitungan biaya berdasarkan pesanan menggunakan sistem persediaan….. a.   periodik b.   fisik c.   perpectual d.   rata-rata e.   rata-rata tertimbang 2.  PT. Merdu Indah membeli bahan baku secara kredit $50.000, maka jurnalnya adalah….. a.  pembelian               $ 50.000 kas                            $50.000 b.  pembelian               $ 50.000 utang usaha              $ 50.000 c.  bahan baku             $ 50.000 kas                            $ 50.000 d.  bahan baku             $ 50.000 utang usaha              $ 50.000 e.  bahan baku             $ 50.000 surat berharga           $ 50.000 3.  Kartu yang berfungsi sebagai catatan persediaan perpectual dan buku besar pembantu yang mendukung akun bahan baku adalah kartu….. a.         persediaan b.        tenaga kerja

Contoh dan Latihan Soal Jurnal Umum Akuntansi Perusahaan dagang (Plus Jawaban) 2

SOAL Pada Perusahaan Dagang Daventa, selama bulan januari 20 14  terjadi transaksi-transaksi sebagai berikut. Jan 2     Membeli barang dagang seharga Rp 1.500.000,00 dengan syarat pembelian 2/15, n/30. 7      Dijual barang dagangan kepada PT Melati dengan harga Rp 300.000,00 dengan syarat pembayaran 2/10, n/30 8      Dijual tunai barang dagang dengan harga Rp 200.000,00 11   Dibayar sewa gudang Rp 50.000,00 14    Diterima kembali barang yang dijual tanggal 7 januari sebesar Rp 75.000,00 karena rusak 15   Dibeli tunai barang dagang seharga Rp 230.000,00 17    Diterima kas dari penjualan kepada PT Melati untuk pembayaran faktur tertanggal 7  J anuari  setelah dikurangi dengan potongan tunai. 18    Dibayar beban angkut Rp 30.000,00 untuk pengangkutan barang tanggal 8 januari yang lalu 20    Dijual dengan kredit barang dagang kepada Firma Husada Bandung Rp 400.000,00 dengan syarat pembayaran 3/15, n/30 22    Dibeli tunai barang dagang seharga Rp 250.000,00 23

Contoh dan Latihan Soal Jurnal Umum Akuntansi Perusahaan Jasa 2

Berikut transaksi usaha bengkel motor Mimi Mimi selama bulan Nopember 2014. Nop    1      Nona Mimi menyetor uang untuk modal usaha sebesar Rp 30.000.000 2       Dibayar sewa gedung reparasi sebesar Rp 1.000.000 untuk satu bulan 4       Dibeli perlengkapan keperluan kantor bengkel sebesar Rp 2.000.000 secara tunai 5       Dibeli meja, kursi, computer, dan almari untuk kantor sebesar Rp 5.000.000 secara tunai 6       Dibeli perlengkapan untuk reparasi mobil berupa oli, minyak rem, busi, dan lain-lain sebesar Rp 10.500.000 secara tunai 7       Dibeli dengan tunai obeng, alat dongkrak, alat-alat service dan pencuci kendaraan sebesar Rp 6.500.000 8       Diterima pendapatan service dan reparasi motor sebesar Rp 700.000 10     Diterima pendapatan service dan reparasi selama 2 hari sebesar Rp 1.300.000 11     Dibayar beban listrik bulan ini sebesar Rp 150.000 14     Diterima pendapatan service selama 4 hari sebesar Rp 2.800.000 15     Dibayar beban air sebesar Rp 1