Jika kita melihat kondisi perekonomian yang terjadi pada saat tahun 2008 harga saham di pasaran banyak mengalami penurunan akibat krisis global. Pada waktu bursa saham Amerika diguncang, dengan menurunnya nilai saham maka dampak krisis itupun terasa diberbagai Negara-negara di dunia. Pada saat ini kita di pasar saham sudah mengenal istilah suatu transaksi derivatif. Banyaknya kalangan yang sedikit akan pengetahuan tentang produk derivatif, maka disini penulis ingin mengungkap mengenai berbagai masalah dan produk derivatif. Suatu transaksi derivatif merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan).
Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada diturunkan dari nilai aset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya. Mayoritas transaksi derivatif adalah produk-produk Over the Counter (OTC) yaitu kontrak-kontrak yang dapat dinegosiasikan secara pribadi dan ditawarkan langsung kepada pengguna akhir, sebagai lawan dari kontrak-kontrak yang telah distandarisasi (futures) dan diperjualbelikan di bursa. Menurut para dealer dan pengguna akhir (end user) fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk melindungi nilai (hedging) beberapa jenis risiko tertentu. Oleh karena itu pasar derivatif bisa ditawarkan sebagai sarana perdagangan saham atau fortofolio. Banyak berbagai alasan digunakan perdagangan secara derivative, dan bisa diharapkan dapat berpengaruh dalam masalah krisis global.
Krisis global yang terjadi
pada tahun 2008, menjadi sorotan utama dunia dalam bidang perekonomian. Hal ini
dikarenakan negara maju yang menjadi kiblat perekonomian mengalami krisis dalam
perekonomian, sehingga berdampak pada krisis pada negara negara yang
berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Kemacetan kredit subprime
Krisis berawal dari problem yang timbul pada
kredit perumahan, mengingat harga-harga property naik tajam dari tahun ke
tahun, sehingga nilai jaminan (harga rumah juga meningkat). Kredit perumahan
yang awalnya berjalan baik karena ditujukan kepada nasabah prima akhirnya
meluas kepada nasabah-nasabah yang tidak layak, Nasabah yang pernah dilanda kredit
macet memperoleh kembali kredit baru. Selain itu, banyak kredit yang diberikan
dengan uang muka yang sangat rendah atau bahkan tanpa uang muka sama sekali.
Banyak pula kredit yang hanya mempersyaratkan pembayaran bunga (interest only) sehingga banyak sekali
nasabah-nasabah baru termasuk di dalamnya nasabah yang tidak layak yang
ditandai dengan kemacetan dalam pembayaran angsuran kredit oleh nasabah-nasabah
yang tidak layak tersebut, dari sini bank mulai hati-hati menyalurkan kredit. Dampaknya,
kehati-hatian bank tersebut menyebabkan harga rumah berhenti naik, bahkan mulai
turun. Penurunan harga itu menyebabkan nasabah kredit pemilikan rumah mulai
berpikir untuk meneruskan cicilan. Akhirnya, kredit macet pun membesar. Jadilah
problem kemacetan kredit subprime menggelinding seperti bola salju.
2. Maraknya derivatif subprime
Di Amerika Serikat, industri keuangan sudah
demikian ”maju”-nya. Kredit-kredit perumahan itu akhirnya oleh bank yang
bersangkutan dikumpulkan dan kemudian disekuritisasi. Ini adalah suatu proses
mentransformasikan kredit pemilikan rumah menjadi surat berharga (sekuritas). Istilah
yang sering dipergunakan untuk surat berharga yang dijamin oleh kredit
pemilikan rumah tersebut adalah mortgage
back securities (MBS) dengan varian yang bernama collateralized debt obligation (CDO).
Nasabah tetap membayar cicilan kepada bank asalnya, tapi bank itu
kemudian meneruskan pembayarannya kepada pihak yang membeli surat berharga
tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa sumber pembayaran dari bank kepada
pemegang surat utang adalah berasal dari nasabah. Namun, hal ini menjadi
permasalahan apabila nasabah mengalami kemacetan.
Proses sekuritisasi kedua varian
surat utang tersebut banyak dibantu oleh lembaga keuangan yang awalnya
didirikan pemerintah Amerika untuk tujuan itu, yaitu Fannie Mae dan Freddie
Mac. Karena tugas tersebut, kedua lembaga itu juga memberikan jaminan. Juga
karena perannya, mereka akhirnya memiliki ”stock”
MBS dan CDO yang belum laku atau mereka memang ingin memilikinya.
Dengan peran tersebut, pada saat
terjadi kemacetan pembayaran oleh nasabah, pasar memperkirakan kedua lembaga
yang sahamnya sudah dicatatkan di New York Stock Exchange itu pasti rugi besar.
Investor pun rame-rame melepas saham kedua perusahaan itu, yang berujung pada anjloknya
harga saham. Dalam keadaan yang sudah amat kepepet, pemerintah Amerika menolong
kedua lembaga itu.
Lembaga lain yang memiliki MBS dan
CDO amat banyak, antara lain bank besar seperti Citigroup atau UBS. Karena
nilai kedua jenis surat utang tersebut jatuh, bank-bank itu harus mulai
melakukan ”penghapusan” (write down), yang akhirnya membuat mereka rugi dan
modalnya tergerus. Investor pun melepas saham bank-bank itu, sehingga harga
saham mereka pun ikut ambles.
3. CDS, derivatif yang sangat beracun
Beberapa bank investasi juga memiliki MBS dan CDO itu, sehingga mereka
pun merugi. Tapi ternyata yang menjadi masalah lebih besar adalah ditemukannya
instrumen keuangan baru (derivatif) yang bernama credit default swap (CDS).
Instrumen ini pada awalnya punya tujuan baik,
yaitu memberikan ”asuransi” bagi pemiliknya jika kredit (bisa obligasi atau
surat berharga lain, termasuk MBS dan CDO) yang mereka miliki terkena masalah.
Yang tidak baik adalah pelaksanaannya kemudian. Lagi-lagi masalah ini timbul
karena dimulai dari ketamakan.
Sebuah perusahaan yang memiliki
obligasi ingin melindungi dirinya dari kemungkinan obligor gagal bayar dengan
membeli asuransi yang disebut CDS itu. Dengan begitu, mereka memiliki kepastian
mengenai nilai obligasi itu meskipun harus membayar premi. Perusahaan yang
mengeluarkan asuransi itu di pihak lain juga harus menyisihkan dananya sebagai
”kolateral”. Jika obligasi itu akhirnya gagal bayar, perusahaan tersebut
memiliki uang untuk membayar kerugian kepada pihak yang membeli asuransi tadi.
Dalam perjalanannya, perusahaan yang mengeluarkan CDS ternyata banyak yang
tidak menyisihkan kolateral. Yang lebih parah, CDS yang sama diperjualbelikan.
Dengan cara ini, mereka menerima premi yang besar, sehingga akhirnya dapat
menghasilkan ”laba” yang kian besar. Dengan laba yang naik tajam ini,
bonus juga sangat besar. Kalau
obligasinya tetap lancar, transaksi seperti ini tentu amat menggiurkan. Tapi,
karena MBS dan CDO mulai bermasalah, pihak asuransi pun mulai banyak diklaim.
Di sinilah kerugian yang sangat besar terjadi.
Jumlah kerugian kolosal itu akhirnya memaksa pemerintah Amerika mengambil
langkah darurat. Sebagian lembaga keuangan dibantu, seperti Bear
Stearns, Merrill Lynch, dan AIG. Goldman Sachs dan Morgan Stanley juga dibantu
dengan diizinkan ”bermutasi” menjadi bank komersial. Yang dibiarkan jatuh
adalah Lehman Brothers. Bantuan itu akhirnya dibuat menjadi terstruktur dengan
jumlah yang diusulkan US$ 700 miliar.
4. Beban utang yang menimbulkan keraguan
Upaya penyelamatan US$ 700
miliar mestinya bisa menenangkan pasar. Tapi ternyata jumlah itu menimbulkan
keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan pemerintah Amerika. Jumlah
utang pemerintah kini mencapai US$ 9,7 triliun dan tiap hari bertambah US$ 1,8
miliar. Dengan upaya penyelamatan itu, batas atas utang pemerintah ditetapkan
US$ 11,3 triliun. Jika ini tercapai, rasio utang Amerika terhadap produk
domestik bruto akan mencapai 80 persen dan akan naik terus. Pada masa pemerintahan yang akan datang, siapa pun
presidennya, bukan tidak mungkin rasionya meningkat menjadi 100 persen. Karena
itu, pemerintah Amerika Serikat dituntut lebih keras bekerja sehingga
meledaknya beban utang itu tidak lepas kendali.
Detik Detik Krisis
TANGGAL
|
PERISTIWA
|
7 Sept 2009
|
Departemen
Keuangan Amerika mengambil alih dua perusahaan pembiayaan perumahan terbesar:
Fannie Mae dan Freddie Mac
|
15 Sept 2009
|
Lehman Brothers mendaftarkan perlindungan
kebangkrutan. Merrill Lynch setuju diakuisisi Bank of America. Peringkat
utang American International Group (AIG) diturunkan, sahamnya merosot 60,8
persen. Bank sentral AS (The Fed) menyuntikkan US$ 70 miliar ke pasar. Indeks
Dow Jones merosot 4,4 persen, terbesar sejak September 2001. Bursa-bursa
Eropa tumbang.
|
18 Sept 2009
|
Pemerintah AS meminta Kongres menyetujui paket
penyelamatan ekonomi berupa dana talangan pemerintah (bailout) US$ 700 miliar
|
24 Sept 2009
|
Presiden
George Bush menyatakan perekonomian AS dalam bahaya jika Kongres tidak
menyetujui rencana bailout
|
26 Sept 2009
|
Washington Mutual, bank terbesar di AS, kolaps.
Sebagian asetnya dibeli JPMorgan Chase.
|
29 Sept 2009
|
Kongres AS menolak rencana bailout. Indeks Dow
Jones merosot 778 poin, terbesar dalam sejarah
|
3 Okt 2009
|
Kongres akhirnya menyetujui bailout. Presiden
Bush meneken UU Stabilisasi Ekonomi Darurat 2008.
|
8 Okt 2009
|
Pukul 11.06 WIB, bursa saham Indonesia (bersama
Rusia dan Ukraina) ditutup sementara, setelah indeks saham anjlok 10,3 persen
|
Dari beberapa hal di atas terjadilah krisis
ekonomi pada institusi keuangan Amerika serikat yang berdampak pada kinerja
saham mereka di bursa saham yang terjun bebas, sehingga dampaknya juga ke
indeks bursa saham Amerika (DJIA), karena institusi keuangan memiliki
kapitalisasi pasar yang cukup signifikan. Akhirnya investor-investor mulai menarik dananya dari bursa, sehingga
indeks bursa semakin merosot.
Penarikan dana juga dilakukan di bursa-bursa
global, karena umumnya pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing
(termasuk di Indonesia). Inilah mengapa dampak merosotnya index bursa di
Amerika juga mengimbas bursa-bursa di seluruh dunia.
Comments
Post a Comment